Menurut riwayat CANDI
CANGKUANG didirikan pada abad 8 M. Sementar Arif Muhammad datang ke Cangkuang
pada abad ke 17 M. konon candi tersebut dibangun pada zaman kerajaan Pajajaran,
Namun sebagina lagi mengatakan dibangun pada zaman Kerajaan Sunda. Beginlah
kisahnya.
Putra Mahkota Nagari Sunda bernama Niskala Wastu
Kancana, sebelum dinobatkan menjadi raja disuruh mengembara ke daerah Bianaya
Jampang. dalam pengembaraannya, Ia sampai di daerah Cangkuang, ia melihat
penduduk sedang membangun candi Syiwa.Ia kurang setuju dengan pembangunan candi
tersebut. "Apa alasannya,Raden?Pembangunan candi ini telah memakan waktu
cukup lama dan sudah setengah jadi," kepala kampung bertanya sambil
menatap wajah Niskala Wastu Kancana.. cukup lama Putra mahkota Nagari sunda ini
termenung seperti sedang memikirkan sesuatu. "Menurut penglihatan batinku,
disini nanti akan muncul agama baru. Agama tersebut akan menguasai wilayah ini
dan sekitarnya. jadi membangun candi di tempat ini kurang tepat. Seharusnya
agak jauh," papr Niskal Wastu Kancana sambil memejamkan mata
Candi Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang , Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus),yang banyak terdapat di sekitar makam, Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun cangkuang dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.
Candi Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang , Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus),yang banyak terdapat di sekitar makam, Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun cangkuang dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.
Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan di tengah danau
kecil (dalam bahasa Sunda disebut situ), sehingga untuk mencapai tempat
tersebut orang harus menggunakan rakit. Selain candi, di pulau itu juga
terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan
cagar budaya.
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles pada tanggal 9
Desember 1966. Tim penelitian yang disponsori oleh Bapak Idji Hatadji (CV.
Haruman) ini diketuai oleh Prof. Harsoyo, Uka Tjandrasasmita (ketua
penelitian sejarah Islam dan lembaga kepurbakalaan), dan mahasiswa dari
IKIP Bandung. Penelitian dilaksanakan berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen
Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di
Desa Cangkuang terdapat makam kuno dan sebuah arca yang sudah
rusak. Disebutkan bahwa temuan itu berlokasi di bukit Kampung Pulo.
Makam dan arca Syiwa yang dimaksud memang diketemukan. Pada awal
penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan sebuah bangunan
candi. Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammad yang dianggap
penduduk setempat sebagai leluhur mereka.
Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan
bangunan candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut
sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan bangunan. Dengan
ditemukannya batu-batu andesit berbentuk balok, tim peneliti yang dipimpin
Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar tempat tersebut semula terdapat
sebuah candi. Penduduk setempat seringkali menggunakan balok-balok
tersebut untuk batu nisan.
Berdasarkan keyakinan tersebut, peneliti melakukan penggalian di lokasi
tersebut. Di dekat kuburan Arief Muhammad peneliti menemukan fondasi candi
berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang berserakan.
Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan segera
melaksanakan penelitian didaerah tersebut. Hingga tahun 1968 penelitian
masih terus berlangsung. Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun 1974-1975
dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang meliputi
kerangka badan, atap dan patung Syiwa serta dilengkapi dengan sebuah joglo
museum dengan maksud untuk dipergunakan menyimpan dan menginventarisir
benda-benda bersejarah bekas peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten
Garut. Dalam pelaksanaan pemugaran pada tahun 1974 telah ditemukan kembali batu
candi yang merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Kendala utama
rekonstruksi candi adalah batuan candi yang ditemukan hanya sekitar 40% dari
aslinya, sehingga batu asli yang digunakan merekonstruksi bangunan
candi tersebut hanya sekitar 40%. Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu
koral, pasir dan besi.
Candi Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi
kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Para ahli menduga bahwa
Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada:
1. tingkat kelapukan batuannya;
2. kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).
1. tingkat kelapukan batuannya;
2. kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).
Setelah dipugar, Candi Cangkuang mempunyai ukuran yang sesuai dengan
keadaan alamnya. Tinggi bangunan sampai ke puncak atap adalah 8,5 m. Tubuh
candi berdiri di atas kaki berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 X 4,5
m. Atap candi bersusun-susun membentuk piramid. Sepanjang tepian setiap
susunan dihiasi semacam mahkota-mahkota kecil, mirip yang terdapat di
candi-candi Gedongsanga.
Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi terletak di sisi timur.
Untuk mencapai pintu terdapat tangga selebar sekitar 75 cm setinggi sekitar 1
m. Pintu masuk tersebut diapit dinding yang membentuk bingkai pintu. Tidak
terdapat hiasan pahatan pada bingkai pintu.
Saat ini di ambang pintu masuk ke ruangan tersebut telah dipasang pintu
berterali besi yang terkunci.Dalam candi terdapat ruangan seluas
2,2 m2 dengan tinggi 3,38 m. Di tengah ruangan terdapat arca Syiwa
setinggi 62 cm. Konon tepat di bawah patung terdapat lubang sedalam 7 m, namun
hal itu tidak dapat dibuktikan karena pengunjung tidak diperkenankan masuk ke
ruangan.
Pemukiman adat Kampung Pulo
Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah disebelah kiri dan tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan ditambah satu masjid sebagai tempat ibadah.
Oleh sebab itu kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian nikah maka paling lambat dua minggu setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, keluar dari lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali keasalnya bila salah satu keluarga meninggal dunia dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat.
Embah Dalem Arief Muhammad
Embah Dalem Arief Muhammad serta masyarakat setempat yang telah membendung daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ Cangkuang. Setelah daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang rendah menjadi danau, dan bukit-bukit menjadi pulau-pulau. Pulau tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana kampung pulo ada), Pulau Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda, dan Pulau Masigit. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram, Jawa Timur. Ia dan pasukannya datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.
Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah disebelah kiri dan tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan ditambah satu masjid sebagai tempat ibadah.
Oleh sebab itu kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian nikah maka paling lambat dua minggu setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, keluar dari lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali keasalnya bila salah satu keluarga meninggal dunia dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat.
Embah Dalem Arief Muhammad
Embah Dalem Arief Muhammad serta masyarakat setempat yang telah membendung daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ Cangkuang. Setelah daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang rendah menjadi danau, dan bukit-bukit menjadi pulau-pulau. Pulau tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana kampung pulo ada), Pulau Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda, dan Pulau Masigit. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram, Jawa Timur. Ia dan pasukannya datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.
Desa Cangkuang, khususnya Kampung Pulo, waktu itu sudah dihuni oleh
penduduk yang menganut agama Hindu. Hal itu terbukti dari adanya candi Hindu
yang sekarang telah dipugar. Metode dakwah yang dilakukan Arief Muhammad tidak
jauh dari pola dakwah Wali Songo. Secara bijaksana Embah Dalem Arief Muhammad
mengajak masyarakat setempat untuk menganut Islam.
Pedoman dakwah yang diajarkan oleh Arief Muhammad berprinsip pada ajaran
Islam yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian
dan keikhlasan hati. Ajaran-ajaran yang disampaikan dan ditulis Arief Muhammad
dalam naskah-naskah tidak berbeda dengan apa yang kita dapatkan dari para ulama
sekarang ini. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, beliau mengajarkan
berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan membentuk pribadi umat menjadi
muslim yang sejati dengan mentauhidkan Allah SWT, berakhlak baik, dan
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.
Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada permulaan abad XVII, antara lain :
Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada permulaan abad XVII, antara lain :
- Naskah Khotbah Jum’at yang
terbuat dari kulit kambing dengan memiliki ukuran 176 X 23 cm. Walaupun
terlihat agak sedikit rusak, namun tulisan dalam naskah tersebut masih
terbaca jelas.
- Kitab Suci Al Qur’an yang
terbuat dari kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 33 X 24 cm. Karena
sudah dimakan usia, kondisi kitab ini terlihat sobek. Walau demikian kitab
Al Qur’an ini masih bisa dibaca dengan jelas.
- Kitab Ilmu Fikih yang terbuat
dari bahan kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 26 X 18,5 cm.
- Makam Embah Dalem Arief
Muhammad yang berada disebelah selatan Candi Cangkuang. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya kerukunan hidup beragama di Nusantara sudah
terbina sejak ratusan tahun yang lalu
Para penduduk Kampung Pulo berangsur-angsur menganut agama Islam, tapi
sebagian kepercayaan lamanya masih mereka laksanakan. Sebagai contoh,
hari Rabu menjadi hari besar bagi mereka, dan bukan hari Jum’at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar